BELAJAR SOSIAL
Banyak pengaruh yang digunakan oleh para individu pada karya satu sama lain melalui proses penguatan sosial, dan banyak teori utama yang menuntun penelitian tentang faktor-faktor sosial di lingkungan olahraga didasarkan atas belajar sosial. Penguatan sosial meliputi komunikasi verbal dan non verbal, yang mempengaruhi perilaku melalui penghargaan sosial dan hukuman dan mengambil bentuk pujian dan kritikan verbal melalui isi pesan, nada suara, ekspresi wajah, atau perilaku non verbal lain. Ketika sumber-sumber informasi tentang kinerja tak ada, penguatan sosial dapat memiliki suatu efek informasi tentang kinerja motor (Gill, 1986). Juga memiliki suatu efek motivasi ketika aktivitas motor tidak sangat memotivasi pada hakekatnya terhadap individu (Wankel, 1975).
Suatu contoh pengaruh yang dapat meresap dari penguatan sosial dalam olahraga meliputi stereotip peranan jenis kelamin (Reis & Jelsma, 1978). Olahraga-olahraga khusus telah lama ditetapkan sebagai “pria” atau “wanita”, dan para anggota jenis kelamin “yang salah” selama bertahun-tahun dikecilkan untuk berpartisipasi di dalamnya. Saat ini efek praktek-praktek ini tetap hidup dalam bentuk ulasan diferensial, sumberdaya, gaji untuk para profesional, dan sebagainya, bagi pria dan wanita yang mengikuti aktivitas yang sama (Hoferek, 1978). Di tingkat para pemain individu, pria dan wanita yang bermain dalam olahraga yang merupakan stereotip untuk jenis kelamin lain sering mengalami konflik antara persepsi diri sebagai olahragawan dan perasaan maskulinitas atau femininitas mereka. Konflik ini menghasilkan sedikit komitmen, tingkat keluar yang lebih tinggi, dan kurang dari kinerja optimal (lihat Sage & Loudermilk, 1979, untuk pembahasan tentang konflik peranan diantara wanita dalam olahraga).
Masih belum banyak ruang untuk penelitian ke dampak belajar sosial dan penguatan pada kinerja olahraga, khususnya berkenaan dengan pengaruh stereotip peranan jenis kelamin. Kita masih mengetahui relatif sedikit, misalnya, tentang pentingnya peranan olahraga, relatif terhadap peranan-peranan lain, bagi wanita dalam olahraga yang didominasi pria, atau hubungan komitmen peranan terhadap kinerja. Lebih banyak studi lapangan percobaan cara meningkatnya laporan kinerja suatu tim (misalnya, sebuah tim bola basket wanita) mempengaruhi keberhasilan tim juga dapat dilakukan. Bila sebagai suatu masyarakat kita menilai partisipasi yang sama dari para anggota kedua jenis kelamin dalam olahraga, adalah bermanfaat menemukan metode-metode yang paling efektif untuk memperkuatnya.
Proses ke dua dalam belajar sosial, pemodelan, meliputi perilaku suka meniru atau belajar melalui pengamatan. Sekumpulan besar penelitian telah menunjukkan bahwa model-model dengan status sosial tinggi menimbulkan perilaku suka meniru oleh orang lain (Bandura, 1973). Dalam konteks olahraga, banyak partisipan yang memiliki status sosial yang sangat tinggi. Bila para pelatih dan atlet yang mulia diamati menjiplak, atau sangat agresif, bukan hanya serupa bahwa orang lain meniru perilaku-perilaku ini.
Memang, teori belajar sosial (Bandura, 1973) telah terbukti memberikan kerangka teoritis terbaik untuk mempelajari penyerangan (Husman, 1978; lihat juga Bandura & Huston, 1961; Bandura, Ross, & Ross, 1961). Meskipun para ahli teori belajar sosial berkonsentrasi pada proses pemodelan dan penguatan sosial, mereka tidak menyangkal bahwa penyerangan mungkin didasarkan pada sifat-sifat perseorangan. Namun, mereka berpendapat bahwa pola perilaku agresif didapatkan dan dipertahankan melalui interaksi dengan orang lain yang berarti dan situasi bersosialisasi (Bredemeier, 1978). Misalnya, Smith (1978), dalam suatu studi tentang persepsi para pemain hockey sekolah tentang penyerangan dalam hockey profesional, menyimpulkan bahwa para pemain profesional membantu sebagai para model status tinggi bagi para amatir dalam mensosialisasikan perilaku agresif dan suatu evaluasi positif tentang penyerangan di atas es (lihat juga bab Thirer [15] tentang penyerangan dalam buku ini).
Meskipun telah ditunjukkan bahwa perilaku agresif dipelajari secara sosial, juga telah ditunjukkan bahwa nilai-nilai moral dan perilaku-perilaku dipelajari secara sosial melalui pemodelan maupun penguatan sosial (Shields & Bredemier, 1984). Lingkungan olahraga memberikan situasi di mana standar moral atau amoral dapat dipelajari (lihat bab dalam Handbook ini tentang pengembangan moral). Selain itu, melatih dan mengajar keduanya memiliki...
...oleh proses belajar sosial. Sikap-sikap para partisipan terhadap para pelatih, aktivitas, dan teman-teman seregu mereka telah ditunjukkan dipengaruhi oleh perilaku penguatan sosial para pelatih (Smith, Smoll, & Curtis, 1978).
Banyak bidang psikologi sosial menekankan pendekatan belajar sosial. Misalnya, konsep Rotter (1966) tentang tempat pengendalian didasarkan dalam teori belajar sosial. Bagian-bagian dalam mempercayai hubungan antara perilaku dan penghargaan serta merasa bahwa mereka memiliki kendali yang sama atas lingkungan mereka, sedangkan bagian-bagian luar percaya bahwa penghargaan adalah hasil dari kemujuran atau takdir dan merasa bahwa mereka tak memiliki kendali atasnya.
Bidang dasar dalam psikologi sosial ini telah dipakai untuk meneliti dalam psikologi olahraga. Dalam olahraga, beberapa pola pertalian telah diusulkan menjadi lebih sehat daripada yang lain. McHugh, Duquin, dan Frieze (1978) merasa bahwa melatih para atlet untuk melakukan upaya pertalian akan meningkatkan kebanggaan mereka dalam keberhasilan dan juga menyebabkan meningkatnya ketekunan. Demikian pula Thomas (1977) menunjukkan bahwa dengan mengubah proses pertalian atlet muda agar upaya menjadi penentu sebab akibat keberhasilan dan kegagalan, sedikit individu yang akan keluar karena perasaan tentang sedikit harapan akan keberhasilan yang akan datang.
Teori belajar sosial juga telah memberikan dasar untuk metode-metode dalam mengubah attribution para atlet. Misalnya, bujukan verbal sebagai suatu teknik untuk latihan pertalian kembali ditemukan dalam gagasan bahwa pertalian dapat dipelajari secara sosial, dan oleh karenanya dapat diubah (Forsterling, 1985; lihat artikel Biddle, Bab 19 dalam buku ini, tentang pertalian).
TEORI PERTUKARAN SOSIAL
Dalam karya klasik mereka tentang interaksi sosial dan proses antar perseorangan, Thibaut dan Kelley (1959; lihat juga Kelley & Thibaut, 1989) membuktikan bahwa proses belajar sosial menghasilkan aspek-aspek interaksi sosial yang mendapatkan nilai diferensial bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Mereka mengemukakan bahwa para individu mengembangkan suatu daftar prilaku sosial (atau cara-cara memperkuat orang lain) dari mana mereka mengambil sampel pada permulaan suatu hubungan sosial baru. Bergantung pada respon dari orang lain di lingkungan sosial, individu cenderung terus dengan pola-pola interaksi yang telah dimulainya, meninggalkannya dan mencoba perilaku-perilaku baru, atau meninggalkan tempat dan mencoba lagi dengan orang atau kelompok lainnya. Oleh karenanya sepanjang waktu orang dalam hubungan-hubungan mengembangkan dan mengunci ke dalam pola-pola berinteraksi yang, pada prinsipnya, memperbesar rasio biaya (hukuman) terhadap manfaat (penghargaan) bagi mereka masing-masing (lihat Homans, 1950, untuk versi lainnya tentang garis pemikiran ini).
Keputusan tentang apakah suatu hubungan cukup menghargai untuk tetap di dalamnya (dan mungkin mengubah perilaku untuk meningkatkan rasio manfaat terhadap biaya) atau meninggalkannya dan...
...pada dasarnya merupakan semacam manfaat rasio manfaat-terhadap-biaya rata-rata untuk jenis hubungan di masa lalu orang tersebut. Misalnya, saya lebih mungkin lebih tahan dengan seorang pelatih yang menggertak (khususnya bila pelatih tersebut menimbulkan hasil-hasil yang baik), bila hubungan-hubungan saya yang lalu dengan para pelatih telah melibatkan menggertak atau perilaku-perilaku lain yang merugikan saya daripada bila para pelatih saya yang lalu baik hati dan menghargai (sebaik efektif). Makin rendah tingkat perbandingan saya, mungkin saya makin puas dengan hubungan saya sekarang. Selain itu, keputusan untuk tetap atau meninggalkan sebagian didasarkan atas alternatif-alternatif yang ada untuk individu pada waktu itu, dalam hal hubungan-hubungan lain atau aktivitas-aktivitas menghargai lain (apa yang disebut Thibaut dan Kelley sebagai tingkat perbandingan untuk alternatif-alternatif). Makin sedikit alternatif baik yang saya miliki yang ada untuk saya, saya makin bergantung pada hubungan ini, dan jadi makin banyak kekuatan dalam hubungan atau kelompok yang dimiliki atas saya.
Teori pertukaran sosial telah mengilhami tradisi panjang penelitian, banyak yang berdasarkan laboratorium, yang telah menunjukkan keberhasilan prediksi yang didapatkan darinya dalam konteks permainan tawar-menawar. Para peneliti yang bekerja dalam tradisi ini telah dikritik, bagaimanapun juga, karena tidak menyelidiki hubungan-hubungan kehidupan nyata dengan cukup; di tahun-tahun belakangan telah ada upaya bersama untuk membawa teori ini ke lapangan, dengan suatu keberhasilan (misalnya, lihat Burgess & Huston, 1979; Kelley & Thibaut, 1978). Carron (1980) meninjau penelitian tentang interaksi pelatih-atlet yang telah dilakukan dari perspektif ini, dan dia membuat beberapa saran yang berguna untuk penelitian dan praktek. Pemikiran yang mendasari teori pertukaran sosial, sementara itu, telah menjadi begitu dasar untuk penelitian dan teori dalam dinamika kelompok sebagai hampir tidak diperhatikan saat ini. Banyak karya yang ditinjau dalam bab ini secara implisit memakai perspektif ini.
TEORI IDENTITAS SOSIAL
Penekanan pada belajar dan penguatan berdasarkan pendekatan terhadap dinamika kelompok dalam psikologi sosial umumnya, dan dinamika kelompok dalam psikologi olahraga khususnya, telah menghasilkan banyak penelitian yang berguna dan teori dalam bidang tersebut, misalnya, kepaduan, kompetisi, dan kinerja. Telah ada satu efek samping dari pendekatan ini, yang telah sedikit menguntungkan – kecenderungan untuk menggolongkan semua proses kelompok dalam hal individu atau antar perseorangan (Carron, 1982, dan terutama Hogg, 1990, menyajikan persoalan ini dengan meyakinkan dalam bidang kepaduan kelompok atau tim). Interaksi dalam olahraga kompetisi pada dasarnya memiliki karakter antar kelompok, karena tujuan pokoknya adalah kemenangan, meskipun juga ada sisi antar perseorangan.
Teori identitas sosial (Tajfel, 1978, 1982; Tajfel & Turner, 1979; Turner, 1987; lihat juga Abams & Hogg, 1990) merupakan percobaan untuk menghadapi aspek-aspek proses kelompok berdasarkan kelompok atau antar kelompok, tanpa kehilangan pandangan tentang orang individu sebagai tempat sikap, norma, keputusan, dan sebagainya. Hogg dan Abrams (1988) memberikan suatu tinjauan luas yang sangat berguna tentang teori ini dan aplikasinya untuk sejumlah bidang dalam dinamika kelompok. Tajfel dan rekan-rekannya menyatakan bahwa proses penggolongan orang ke dalam kelompok-kelompok adalah dasar dan ada di mana-mana dalam kehidupan sosial. Selain proses ini terjadi berkenaan dengan diri, agar kategori-kategori yang dihasilkan memiliki kualitas orang-dalam (kategori atau kelompok ke mana saya termasuk) dan orang-luar (kategori atau kelompok ke mana saya tidak termasuk, namun yang relevan dengan kelompok-dalam saya untuk suatu alasan). Tentu saja, Tajfel dkk (1973) menunjukkan bahwa penggolongan ke dalam orang-dalam dan orang-luar dapat terjadi pada seluruh isyarat yang berubah-ubah, namun yang bahkan ketika ini demikian, para anggota orang-dalam dinilai sebagai karakteristik yang lebih diinginkan daripada para anggota orang-luar. Tajfel menunjukkan bahwa penggolongan sosial tak dapat dihindarkan, dan bahwa sekali telah terjadi, perimbangan-pertimbangan orang-dalam dan orang-luar kemungkinan besar mempengaruhi setiap aspek interaksi sosial.
Identitas Perseorangan dan Sosial
Tajfel dan Turner (1979) dan Turner (1987) mengusulkan bahwa untuk tujuan menjelaskan hubungan orang dalam dan orang luar, konsep diri dapat berguna dianggap sebagai termasuk dua aspek. Pertama adalah identitas perseorangan, tersusun dari pertimbangan-pertimbangan saya tentang diri saya sendiri sebagai seorang individu dan persepsi saya tentang hubungan-hubungan saya dengan para individu lain (misalnya, saya mungkin melihat diri sendiri sebagai seorang pelari cepat atau sebagai lebih kompetitif dari kebanyakan teman seregu saya). Pertimbangan-pertimbangan ini dicapai dengan suatu proses perbandingan sosial (Festinger, 1954) dengan orang lain yang serupa dengan cara-cara yang relevan – jadi terutama dengan para anggota orang dalam. Dalam membuat perbandingan-perbandingan ini, kita termotivasi untuk membuat diri kita berbeda dari orang lain yang serupa dengan cara-cara yang dinilai secara positif. Perbandingan-perbandingan sosial yang terjadi secara paling alami adalah ke bawah, dengan para individu yang tidak memiliki sifat-sifat yang dikehendaki tingkat kita sendiri (lihat Turner, 1987). Identitas perseorangan mungkin penting ketika daya tarik antar perseorangan tinggi.
Aspek ke dua konsep diri dalam konseptualisasi meliputi identitas sosial, tersusun dari karakteristik individu sebagai anggota berbagai orang-dalam, dan bahwa persepsi individu tentang hubungan kelompok-kelompok dengan orang-luar lain yang relevan. Misalnya, saya mungkin memandang diri sendiri dan tim saya sebagai khususnya termotivasi dalam suatu krisis, atau sebagai lebih agresif daripada tim lain. Ketika identitas sosial penting, perbandingan sosial adalah dengan kelompok lain, daripada dengan para individu lain. Di sini kita termotivasi untuk memperkecil perbedaan antara para anggota orang dalam (dan antara para anggota orang luar yang relevan), sebaik memperbesar perbedaan penampilan, kualitas, dan perilaku, antara orang dalam dan orang luar (lihat Turner 1987). Diri dan para individu lain adalah terdepersonalisasi dalam arti bahwa kualitas individu kurang penting dari kualitas yang mendefinisikan kelompok. Selain itu, bagi saya sebagai anggota kelompok norma, keterampilan, dan kualitas perseorangan yang sangat dinilai, di samping yang paling pokok untuk sistem nilai saya sendiri, menjadi yang terbaik mendefinisikan dan menggolongkan orang dalam (yaitu, yang paling prototipikal atau normatif). Identitas sosial mungkin penting ketika lingkungan sosial mengancam atau ketika kelompok-kelompok bersaing atau bermusuhan.
Penggolongan kelompok dalam individu ini (Hogg & Abrams, 1988) memiliki sejumlah akibat penting untuk analisis proses kelompok, beberapa diantaranya adalah kepentingan khusus untuk bab ini. Pertama teori ini mendalilkan bahwa sikap-sikap dan nilai-nilai, sebagai perilaku, berubah dalam arah norma kelompok di bawah kondisi di mana identitas sosial penting. Carron (1988) memberikan sejumlah contoh perubahan dalam nilai-nilai para anggota tim dalam layanan kinerja tim. Ke dua, proses pembuatan keputusan sebagian ditentukan oleh karakteristik orang luar yang relevan (ini memiliki relevansi khusus di bidang-bidang polarisasi kelompok dan pemikiran kelompok). Motivasi berikutnya, pemudahan sosial, dan kemalasan sosial berhubungan erat dengan situasi orang dalam/orang luar dan sifat normatif tugas. Akhirnya daya tarik dan kepaduan mengambil dimensi sosial, yang bisa atau tidak bisa berhubungan dengan daya tarik perseorangan (seperti yang akan kita lihat).
Para psikolog olahraga mempelajari dinamika kelompok tim, interaksi pelatih-atlet, motivasi, dan lain-lain belum memberikan banyak perhatian kepada konseptualisasi ini sekarang. Namun mereka telah mencoba menganalisis proses ini lebih atau kurang menyeluruh dalam hal antar perseorangan. Sifat kompetitif olahraga, bagaimanapun juga, berarti bahwa proses tim (dan individu) terutama merupakan situasi antar kelompok; dengan sungguh-sungguh pertemuan-pertemuan antar perseorangan lebih merupakan pengecualian daripada aturan. Teori identitas sosial, oleh karenanya, nampak memberikan struktur teoritis yang rapi untuk studi tim dan dinamika antar perseorangan di lingkungan olahraga. Kita gunakan ini di sini sebagai suatu cara yang ditambahkan untuk mengintegrasikan beberapa temuan yang kita tinjau.
Identitas Sosial dan Pertukaran Sosial
Teori pertukaran sosial, seperti yang dikemukakan sebelumnya, menganalisis interaksi kelompok dalam hal keputusan dan strategi biaya-manfaat yang digunakan oleh para individu. Jadi pada dasarnya merupakan pendekatan antar perseorangan berdasarkan penguatan dan belajar sosial. Konsep Thibaut dan Kelley (1959) tentang tingkat perbandingan dan tingkat perbandingan untuk alternatif-alternatif, bagaimanapun juga, menyebabkan beberapa perluasan yang menarik ke bidang antar kelompok. Pertama makin baik hubungan sekarang relatif terhadap tingkat perbandingan, makin puas orang dengan kelompok tersebut, dan makin banyak solidaritas yang dirasakannya dengan kelompok tersebut. Para individu yang sangat puas dengan suatu kelompok mungkin berpihak dengan lebih kuat kepadanya daripada yang tidak berpihak. Di sisi lain, makin kurang baik tingkat perbandingan untuk alternatif-alternatif, makin banyak individu bergantung pada kelompok sekarang untuk kepuasan. Para individu dengan beberapa alternatif yang ada mau tahan hubungan-hubungan yang agak tidak memuaskan sampai sesuai yang lebih baik berjalan. Misalnya, dalam olahraga elit seorang atlet di sebuah tim nasional mungkin memiliki suatu hubungan yang kurang dari memuaskan dengan para individu lain di tim tersebut, namun keadaan tidak menyenangkan ini ditolerir saat hanya ada satu tim nasional.
Hubungan antara para individu telah dijelaskan oleh sejumlah peneliti sepanjang dua dimensi yang berhubungan: antar kelompok dan antar perseorangan (misalnya, Gudykunst, 1986). Interaksi antar kelompok tinggi adalah interaksi di mana identitas sosial sangatlah penting (misalnya, interaksi antara para anggota dua tim dalam kompetisi). Interaksi antar perseorangan yang tinggi adalah interaksi di mana identitas perseorangan penting (misalnya, interaksi antara dua teman di luar lingkungan kompetisi). Beberapa interaksi sosial adalah rendah pada kedua dimensi (misalnya, interaksi dengan pegawai yang tidak dikenal di sebuah meja kasir) atau tinggi pada keduanya (misalnya, seorang pria dan wanita yang menikah), namun ini relatif tidak mungkin terjadi di lingkungan olahraga.
Para anggota kelompok yang lebih terikat berada di satu kelompok (yaitu, makin rendah tingkat perbandingan mereka untuk alternatif-alternatif), makin mungkin mereka melihat interaksi dengan para anggota orang luar dalam hal antar kelompok (lihat Gallois, Franklyn-Stokes, Giles, & Coupland, 1988; Giles & Johnson, 1987). Dalam keadaan ini mereka lebih mungkin bertingkah laku secara sempit dalam hal norma-norma yang mendefinisikan perilaku prototip untuk kelompok mereka dan untuk mencemarkan perilaku yang menyimpang dari norma-norma ini. Di sisi lain para individu yang puas dengan kelompok mereka (tingkat perbandingan tinggi), sedangkan mereka bisa melihat interaksi dengan para anggota orang luar dalam hal antar kelompok, lebih mungkin menekankan karakteristik positif kelompok mereka tanpa perlu mencemarkan perilaku orang luar.
Dari perbandingan ini orang dapat membuat beberapa prediksi tentang para anggota tim olahraga. Pertama, para pemain yang lebih puas harus melakukan secara lebih fleksibel dan berinteraksi secara lebih positif dengan para anggota tim, sementara para individu yang puas rendah harus berinteraksi secara lebih negatif dan lebih mungkin keluar. Volp dan Keil (1987) memberikan suatu dukungan untuk prediksi ini. Ke dua, para anggota tim yang sangat terikat akan berinteraksi secara lebih kompetitif dengan para anggota tim lain daripada para individu yang kurang terikat. Ke tiga, para anggota tim yang rendah dalam kepuasan maupun ketergantungan akan bertingkah laku secara kompetitif terhadap para anggota tim lain. Dukungan untuk prediksi ini dan prediksi yang berhubungan dan dampak variabel-variabel ini pada kepaduan dan kinerja menunggu penelitian yang akan datang.
KOMUNIKASI DALAM KELOMPOK
Komunikasi yang terjadi selama kompetisi dan latihan telah dipelajari dengan sedikit mengherankan, dengan adanya kepentingannya untuk kinerja dalam olahraga. Carron (1988) memberikan suatu tinjauan tentang suatu penelitian yang telah dilakukan. Para pekerja dalam bidang ini bisa mendapatkan manfaat sangat besar dari penelitian ini di bidang lain tentang dinamika komunikasi verbal dan non verbal. Kita tak akan meninjau penelitian itu di sini (untuk tinjauan terbaru lihat Argyle, 1988; Burgoon, Buller, & Woodwall, 1990; Giles & Robinson, 1990). Malahan kita akan menyelidiki secara singkat beberapa persoalan teoritis yang terutama nampak relevan.
Dimensi Komunikasi
Terdapat banyak konsensus tentang dimensi-dimensi yang menggolongkan interaksi-interaksi antara orang-orang pada bermacam-macam situasi. Dari karya awal Osgood, Suci, dan Tannenbaum (1957) melalui penelitian yang lebih baru (misalnya, Bales, Cohen, & Williamson, 1979l Wish, d’Andrade, & Goodnow, 1980), orang-orang yang berinteraksi telah menggambarkan diri mereka sendiri, teman-teman berinteraksi mereka, dan percakapan mereka dalam hal dominansi (atau kekuasaan) (lihat Brown & Gilman, 1960), persatuan (atau solidaritas), dan kepentingan (atau keterlibatan). Kadang-kadang dimensi ke empat untuk keterlibatan tugas atau keterlibatan emosional juga nampak. Adalah menarik memperhatikan bahwa dimensi-dimensi ini semuanya afektif. Akan nampak bahwa respon pertama kita terhadap suatu interaksi ditangkap oleh perasaan yang ditimbulkannya (Forgas, 1986).
Beberapa orang pekerja dalam psikologi olahraga telah dipengaruhi oleh model circumplex Russell (1980) untuk memperkecil pentingnya dominansi terhadap deskripsi komunikasi di lingkungan olahraga. Harus diperhatikan bahwa penelitian Russell meliputi meminta para subyek membayangkan lingkungan di mana mereka sendirian (misalnya, melakukan latihan yang sulit). Mereka kemudian menggambarkan lingkungan ini menggunakan skala kata sifat terstruktur. Dalam hal ini dua dimensi kesenangan dan dorongan (yang analog dengan persatuan dan keterlibatan) nampak cukup untuk deskripsi tersebut. Ketika orang berinteraksi, dominansi masuk sebagai suatu dimensi dan dalam banyak hal adalah yang terpenting (misalnya, lihat Carron, 1978). Tiga dimensi komunikasi ini telah ditemukan berguna dalam membedakan diantara jenis-jenis interaksi yang berbeda. Wish dkk (1980), misalnya, menggunakannya untuk menggambarkan berbagai aspek komunikasi sebuah keluarga. Para peneliti bisa menggunakannya untuk mendapatkan perbandingan-perbandingan dari para atlet tentang tugas-tugas yang berbeda dalam olahraga mereka. Selain itu, mereka mungkin untuk membandingkan kinerja yang berhasil dan kurang berhasil dan tentu saja untuk memprediksi kinerja.
Komunikasi yang efektif dalam sejumlah konteks (misalnya, komunikasi yang berhubungan dengan pekerjaan, komunikasi pernikahan) telah berhubungan dengan penulisan dalam sandi dan pembacaan sandi yang teliti dari pesan-pesan verbal dan non verbal sepanjang dimensi ini. Ketelitian, sebaliknya, nampak berhubungan bukan hanya dengan keterampilan sebagai seorang komunikator, namun juga dengan kualitas hubungan antara orang-orang yang berinteraksi. Jadi suatu pernikahan yang tidak bahagia (Noller, 1984) atau prasangka etnis (Gallois & Callan, 1986) bisa menyebabkan, setidaknya sebagian, kurangnya kemampuan untuk membaca sandi orang lain atau orang-orang dalam suatu hubungan. Dalam beberapa hal orang-orang dalam hubungan yang negatif mampu memahami pesan-pesan komunikatif orang asing lebih baik daripada pesan-pesan komunikatif orang lain dalam hubungan tersebut. Kekurangan ini, pada gilirannya, memiliki sejumlah akibat negatif untuk pembuatan keputusan dan aspek-aspek lain dari kinerja. Noller (1984) menggambarkan suatu siklus komunikasi negatif di mana sikap negatif terhadap orang lain menyebabkan kesalahpahaman yang pada gilirannya menegaskan dan mengeraskan sikap negatif, dan seterusnya. Perluasan penelitian ini ke lingkungan tim akan membuahkan dalam hal memahami hubungan antara komunikasi efektif dan kinerja efektif. Misalnya, strategi Noller tentang meminta pasangan-pasangan untuk membaca sandi arti dan nada emosional pesan non verbal satu sama lain dapat digunakan dalam hubungan antara para pelatih dan para atlet atau antara teman-teman seregu. Strategi ini meliputi penciptaan sejumlah pesan standar-isi yang relevan dengan situasi tersebut, namun yang dapat ditafsirkan dengan beberapa cara (misalnya, “Apa yang sedang anda lakukan?”). Satu orang mengirimkan sebuah pesan dengan tujuan khusus (misalnya, menyampaikan kemarahan), dan yang lain harus membaca sandi tujuan tersebut menggunakan perilaku non verbal saja. Ini adalah cara yang kuat untuk membedakan hubungan yang berhasil dari yang tidak berhasil.
Komunikasi dan Hubungan Antar Kelompok
Beberapa temuan yang baru saja dijelaskan telah membawa kepada hipotesis bahwa banyak aspek komunikasi verbal dan non verbal berguna penanda identitas sosial. Khususnya, jargon dan ucapan populer, aksen, sikap, dan pakaian telah dipelajari sebagai penanda keanggotaan dalam kelompok-kelompok khusus (lihat Argyle, 1988; Giles & Robinson, 1990). Dalam hal tim olahraga, beberapa perilaku ini dibuat ritual, misalnya, dalam mengenakan seragam atau penggunaan slogan-slogan tim yang dikhususkan.
Giles dan rekan-rekannya (misalnya, Giles, Mulac, Bradac, & Johnson, 1987) telah mengusulkan bahwa ketika identitas sosial diaktifkan, para anggota kelompok menekankan ciri-ciri ucapan mereka, perilaku non verbal, atau pakaian yang terbaik membedakan orang dalam mereka dari orang luar. Proses ini, yang disebut perbedaan komunikatif, terutama mungkin di bawah kondisi kompetisi atau ancaman. Di sisi lain, di bawah kondisi ini para anggota orang dalam mungkin bertemu dalam perilaku mereka – yaitu, membuat perilaku mereka sebagai serupa mungkin dengan satu sama lain (dan dengan kelompok yang dianggap prototip). Di lingkungan tim, tingkat pemusatan terhadap perilaku orang dalam yang prototip dan perbedaan dari perilaku orang luar dapat membantu sebagai index tingkat di mana motif-motif kompetitif dan identitas sosial adalah aktif.
Periode sebelum suatu penyesuaian adalah periode di mana perbedaan dan kesetiaan kuat kepada norma-norma tim didorong dengan sengaja oleh para pelatih dan kapten. Sering, proses ini membawa risiko meremehkan sisi yang berlawanan, dan para pelatih benar-benar mengetahui risiko dari pemikiran kelompok. Suatu pertanyaan penelitian yang menarik meliputi jumlah perbedaan optimal dari perlawanan dan pemusatan terhadap norma-norma tim; bagan-bagian terakhir membahas persoalan ini dalam konteks motivasi dan kohesi.
SITUASI SOSIAL : KETERAMPILAN, PERANAN, DAN ATURAN
Komunikasi diantara para anggota tim olahraga dan kelompok olahraga belum merupakan bidang penelitian utama dalam psikologi olahraga, dengan pengecualian yang mungkin dari karya tentang kepemimpinan dan interaksi pelatih-atlet (misalnya, lihat Carron, 1980). Namun demikian ini merupakan bidang kepentingan praktis yang besar dan diakui, terutama dalam hal kontribusi proses komunikasi menuju kepaduan dan kinerja tim. Oleh karenanya nampak baik memperhatikan teori dan penelitian dari psikologi sosial dan aplikasinya untuk situasi olahraga. Argyle dan rekan-rekannya (Argyle, 1988; Argyle & Henderson, 1984; Argyle, Furnham, & Graham, 1981; Furnham, 1983) telah mengusulkan suatu model umum situasi sosial dan peranan, aturan, dan keterampilan yang menggolongkan situasi-situasi.
Keterampilan Sosial
Model situasi sosial ini didapatkan dari model Argyle sebelumnya dari keterampilan sosial (Argyle, 1969; Trower, Bryant, & Argyle, 1977), di mana keterampilan sosial dipandang sebagai keterampilan motor kompleks yang analog dengan keterampilan atletik. Model sebelumnya didasarkan secara individu dan melihat interaksi sosial sebagai terdiri dari lima bagian : tujuan atau motivasi individu dalam memasuki interaksi (yang bisa berubah saat interaksi terus); persepsi tentang lingkungan, termasuk stereotip, pertalian, dan pengolahan informasi; penterjemahan informasi menjadi keputusan tentang bagaimana harus bertindak, yang berhubungan dengan norma, peranan, dan aturan yang dirasakan dalam situasi tersebut; daftar respon motor yang dapat dan digunakan dalam situasi tersebut; dan penggunaan umpan balik dari lingkungan. Di masing-masing bidang ini ada persoalan-persoalan dan kekurangan-kekurangan khusus. Jadi keterampilan sosial dapat diajarkan dan dipelajari dengan cara yang sama seperti keterampilan motor kompleks apapun, selama kelima aspek dialamatkan. Trower dkk (1977), memang mengembangkan suatu sistem pelatihan keterampilan sosial berdasarkan model ini, yang dimaksudkan untuk mengajarkan keterampilan sosial dasar atau keterampilan khusus seperti pengajaran mikro atau pelatihan lintas budaya. Carron (1980) menggunakan model tersebut untuk mengintegrasikan beberapa penelitian tentang interaksi pelatih-atlet.
Pendekatan keterampilan sosial telah banyak menganjurkan ini sebagai suatu cara yang terus terang untuk menkonseptualkan dan pelatihan interaksi sosial. Sejak akhir tahun 1970an, model ini telah menerima banyak sekali kritikan, sebagian besar karena kegagalan berkali-kali memindahkan keterampilan dari lingkungan latihan ke situasi kehidupan nyata; Furnham (1983) telah menyebutkan kegagalan menyamaratakan tumit Achilles dari gerakan keterampilan-latihan sosial. Jadi pada waktu yang sama dengan pendekatan ini mulai digunakan di lingkungan olahraga, ini dikembangkan dalam psikologi sosial untuk memasukkan suatu analisis situasi sosial yang lebih terperinci.
Argyle dkk (1981) menguraikan situasi sebagai berisi tujuan, peranan, dan aturan mereka sendiri, sebaik perilaku dan rangkaian perilaku, bahasa, konsep dan kepercayaan, lingkungan, dan kesulitan, yang menjauhkan mereka dari situasi lain. Jadi model baru ini meringkas model keterampilan sosial dalam beberapa namun tidak semua sifat situasi. Untuk melatih keterampilan sosial dengan efektif, dalam pandangan ini, orang juga harus memahami peranan, aturan, dan lingkungan. Daftar sifat yang lebih besar untuk situasi memberikan titik awal yang berguna untuk penelitian, yang kebanyakan saat ini telah berfokus pada tujuan, peranan, dan aturan. Kita akan meninjau suatu penelitian tentang motif (tujuan) tim dalam bagian terakhir dari bab ini. Suatu pembahasan singkat tentang penelitian peranan dan aturan disajikan di sini.
Peranan Sosial
Peranan sosial biasanya dianggap terdiri dari rangkaian perilaku yang berhubungan dengan posisi sosial khusus (Biddle & Thomas, 1966). Peranan, seperti posisi sosial, didefinisikan berkenaan dengan peranan target lain, yang merupakan bagian dari sistem yang sama. Misalnya, peranan pelatih didefinisikan dalam hal peranan bagi para atlet, ofisial, pelatih lain, dan tokoh lain dengan siapa seorang pelatih berinteraksi secara profesional. Jadi peranan terdiri dari harapan dan perilaku sebenarnya yang melekat ke suatu posisi.
Peranan bisa didefinisikan secara kelembagaan, sebagai peranan pelatih dan kapten tim. Di sisi lain, mereka bisa muncul secara informal melalui sejarah suatu kelompok atau olahraga (suatu contoh yang mungkin dari yang terakhir adalah peranan “polisi” atau “penyelenggara” dalam hockey; lihat Carron, 1988; Smith, 1978). Sejumlah peneliti telah menggunakan sistem analisis proses interaksi Bales (1950; 1966) untuk menggolongkan para anggota tim ke dalam peranan-peranan informal sebagai para spesialis tugas atau sosio-emosional. Menggunakan suatu pendekatan yang lebih langsung, Rees dan Segal 91984) meminta para anggota tim sepak bola untuk memberi nama para anggota tim yang mereka rasa merupakan pemain terbaik (para spesialis tugas), sebaik para anggota tim yang mereka lihat memberikan kontribusi terbanyak kepada kerukunan kelompok (para spesialis sosioemosional). Rees dan Segal menemukan bahwa peranan-peranan ini menggambarkan dua kelompok pemain yang berbeda; para spesialis tugas lebih mungkin menjadi pemain deretan-pertama, sedangkan para spesialis sosioemosional lebih mungkin menjadi senior, dan maka anggota tim yang lebih berpengalaman. Di mana ada saling melengkapi antara peranan-peranan, para pemain adalah deretan-pertama dan senior. Suatu tradisi penelitian yang panjang (misalnya, lihat Bales dkk, 1979) menunjukkan harapan-harapan yang berbeda untuk orang-orang dalam dua peranan ini.
Peranan formal juga bisa mendapatkan harapan-harapan yang tidak dengan keras merupakan bagian dari definisi peranan asli namun yang meliputi perilaku-perilaku yang berhubungan dengan itu. Misalnya, Carron (1978) menemukan bahwa para atlet maupun para pelatih mengharapkan tingkat yang jauh lebih tinggi untuk pengendalian yang dinyatakan (Schutz, 1966) dari para pelatih dan pengendalian yang lebih diterima dari para atlet (para atlet memiliki persepsi yang lebih dibesar-besarkan untuk perbedaan ini daripada para pelatih). Kedua peranan berbeda jauh kurang dalam tingkat pemasukan dan afeksi, meskipun lebih sedikit dari perilaku ini yang diharapkan dari para pelatih. Hasil-hasil ini menunjuk sekali lagi kepada pentingnya dominansi atau pengendalian dalam mendefinisikan peranan-peranan yang berbeda dalam status.
Suatu aspek penting dari peranan adalah tingkat di mana memainkannya menyebabkan konflik bagi para pemain peranan tersebut. Kebanyakan ahli teori peranan (misalnya, Biddle & Thomas, 1966) menggambarkan konflik sebagai terletak dalam suatu peranan (konflik dalam-peranan, melakukan dengan harapan-harapan yang tidak sesuai untuk peranan yang sama), pada dua peranan atau lebih yang dimainkan oleh orang yang sama (konflik dalam-peranan), dan antara identitas pribadi seorang pemain peranan dan tuntutan atau harapan peranan (konflik orang-peranan). Untuk menghadapi terperinci persoalan ini di luar lingkup bab ini. Adalah baik menunjukkan bahwa konflik peranan, atau kurangnya identifikasi dengan peranan olahraga, telah digambarkan sebagai prediktor tingkat keluar dan turunnya kinerja pada para perenang (Volp & Keil, 1987), dan pemadaman diantara para pelatih (Caccese & Mayerberg, 1984; Capel, Sisley, & Desertrain, 1987), sebaik akibat stereotip jenis kelamin dari olahraga (Sage & Loudermilk, 1979).
Aturan Sosial
Aturan, seperti peranan, meliputi harapan bersama tentang perilaku (Argyle dkk, 1981). Dalam hal ini perilaku terjadi dalam situasi khusus. Ini tidak perlu diberikan kepada peranan-peranan khusus namun malahan bisa digunakan untuk setiap orang dalam situasi. Argyle dan rekan-rekan menggunakan aturan-aturan permainan sebagai pola dasar peranan sosial. Mereka telah mengembangkan metodologi untuk mempelajari aturan-aturan yang pada dasarnya meliputi meminta orang-orang dalam situasi tersebut untuk menggambarkan apa yang harus dan tidak boleh dilakukan orang. Sebagai alternatif mereka meminta para subyek untuk menilai pentingnya aturan-aturan yang diartikulasikan oleh orang lain (misalnya, Argyle & Henderson, 1984). Tidak seperti aturan formal pertandingan, banyak aturan sosial yang tidak mudah diartikulasikan; namun mungkin paling mudah dipahami dengan mengamati reaksi-reaksi terhadap pelanggaran mereka. Jones dan Gallois (1989) menggunakan suatu metodologi untuk melakukan ini (dalam konteks aturan-aturan untuk mengelola konflik dalam pernikahan) yang meliputi contoh-contoh rekaman videotape untuk situasi tersebut dan kemudian membawa para partisipan kembali melalui videotape untuk menemukan contoh-contoh aturan-aturan yang diikuti atau dilanggar. Kedua metodologi ini dapat dengan mudah digunakan untuk lingkungan olahraga, untuk memisahkan aturan-aturan informal yang penting untuk tingkah laku selama interaksi kompetitif atau latihan.
Argyl dkk (1981) memperlihatkan bahwa beberapa aturan (misalnya, sopan, tidak membuat orang lainnya merasa kecil) sungguh umum di seluruh situasi sosial, dan bahkan di seluruh budaya. Di sisi lain, aturan-aturan lain sungguh khusus untuk situasi, dan bahkan bisa memasuki konflik dengan aturan-aturan formal atau aturan yang lebih umum. Misalnya, Silva (1983) menemukan bahwa para atlet perguruan tinggi pria dan wanita menganggap ini dapat diterima untuk melakukan kecurangan pada pemain lain dalam olahraga tim bila ini menghasilkan suatu keuntungan pada suatu saat khusus dalam pertandingan, suatu pandangan yang pasti bertentangan dengan aturan yang lebih umum tentang pertandingan yang wajar. Aturan situasi-khusus demikian bisa mendefinisikan perilaku prototip (Turner, 1987) untuk seorang anggota tim.
Aturan berbeda-beda kepentingannya, namun selalu relatif mudah diartikulasikan (setidaknya ketika dilanggar) dan relatif stabil di seluruh waktu. Dengan begini, berbeda dari norma, yang dalam banyak hal mendefinisikan batas-batas perilaku dan yang bisa berubah dengan cepat dengan faktor-faktor situasi (lihat Forsyth, 1990). Dalam banyak hal, aturan dan norma memiliki banyak persamaan, dan penelitian tentang aturan untuk interaksi di lingkungan olahraga dapat berguna masuk ke literatur besar tentang norma sosial pada umumnya.
Bagian ini telah membahas beberapa sifat umum interaksi sosial yang agak mengenai kinerja. Dalam bagian berikutnya, kita membahas persoalan kinerja secara langsung.
INDIVIDU DAN KINERJA KELOMPOK
Kemampuan individu (umum atau khusus) secara signifikan berhubungan dengan keefektifan kelompok (Heslin, 1964). Meskipun kemampuan para anggota individu telah ditunjukkan sebagai memiliki hubungan positif dan konsisten dengan kinerja kelompok, ukuran kemampuan ini, apakah obyektif atau subyektif, belum selalu menghasilkan prediktor yang baik untuk kinerja kelompok (McGrath & Altman, 1966). Haythorn (1968) menunjukkan bahwa hubungan kemampuan atau keahlian individu dengan keefektifan kelompok sebagian bergantung pada apakah tugas-tugas individu dilakukan secara berangkaian (misalnya, istirahat cepat dalam bola basket), atau secara paralel (misalnya, mendayung). Faktor lainnya yang bisa mempengaruhi hubungan ini adalah tingkat interaksi sosial yang diperlukan oleh para anggota individu untuk menghasilkan suatu kinerja yang berhasil (Napier, 1968).
Tugas Motor Laboratorium
Karena buku ini menghadapi psikologi olahraga, adalah perlu menyelidiki apakah hubungan antara kemampuan individu dan kinerja kelompok dipertahankan ketika tugas-tugas memerlukan koordinasi fisik. Dalam tugas motor laboratorium, skor kinerja individu memiliki hubungan sedang dan positif dengan kinerja kelompok.
Dalam tugas pemasangan pegboard, Comrey (1953) menemukan bahwa kurang dari setengah variasi kinerja kelompok (44%) dapat diprediksi dari kinerja individu. Kelompok-kelompok dalam studinya sebenarnya hanya pasangan-pasangan, jadi interaksi atau kerjasama sosial apapun diperlukan untuk penyelesaian tugas yang berhasil yang hanya didasarkan pada dua orang. Suatu penjelasan yang mungkin untuk kemampuan prediktif yang buruk dan dari kinerja individu dalam studi Comrey adalah bahwa tugas individu dan kelompok sedikit berbeda. Untuk menguji hipotesis ini, Comrey dan Deskin (1954a, 1954b) mengulangi studi namun mengubah desainnya untuk membuat tugas individu dan kelompok lebih dapat dibandingkan. Bahkan dengan perubahan desain ini, tak ada perbaikan signifikan dalam prediksi kinerja kelompok berdasarkan kinerja individu. Hanya sebagian kecil dari variasi total pada tugas kinerja-kelompok diprediksi pada tugas yang sama seperti para individu.
Dalam perbandingan, Wiest, Porter, dan Ghiselli (1961) menemukan bahwa 72% variasi pada kinerja tim dapat disebabkan oleh kinerja individu para anggota tim. Tugas dalam studi ini, adalah memecahkan teka-teki menyusun potongan gambar. Suatu hasil menarik dari studi ini adalah bahwa kinerja tim diprediksi lebih baik dari tim daripada dari keahlian para anggota tim yang lebih buruk. Lagi pula makin serupa keahlian individu dua orang anggota tim, makin mungkin mereka membentuk tim yang cakap dan efektif.
Menggunakan tugas motor yang ruwet, Gill (1979) menemukan bahwa skor individu memprediksi 41% variasi kinerja kelompok. Tidak seperti Comrey dan rekan-rekannya, Gill menunjukkan bahwa ini adalah bagian utama dari variasi. Dalam suatu percobaan di mana suatu kelompok kontrol melakukan sebagai individu dalam kedua sesi tugas motor yang ruwet, Gill menemukan bahwa skor individu memprediksi 58% variasi kinerja individu selama sesi ke dua. Dia menunjukkan bahwa variabilitas diharapkan dalam kinerja motor dan olahraga (Gill, 1984). Bila kinerja individu berubah-ubah dari sesi ke sesi, diharapkan bahwa skor kinerja individu tak akan memprediksi sama sekali kinerja tim.
Suatu temuan tambahan dari percobaan Gill (1979) adalah bahwa ketidaksesuaian besar pada tingkat kemampuan antara para partner memiliki efek negatif pada kinerja kooperatif. Ini mendukung temuan Wiest dkk (1961) bahwa makin serupa kemampuan para anggota tim, makin mungkin mereka melakukan secara efektif sebagai tim. Bila hasil ini ditemukan benar dalam tim-tim olahraga yang menuntut interaksi kooperatif, mungkin lebih efektif bagi seorang pelatih menghindari menggunakan seorang pemain yang tingkat kemampuannya jauh lebih tinggi dari kemampuan orang lain pada tim. Ini, tentu saja, adalah lawan dari apa yang akan diharapkan orang. Penelitian lebih lanjut dalam bidang ini perlu dilakukan.
Oleh Jhoni Lumba, S.Pd;M.Pd
0 komentar:
Post a Comment